Koin itu Menjawab Semuanya | Sebuah Kisah Detektif |





Mendapat panggilan dari Ir Darmein, ketua Jurusan Teknik Elektro yang keras tegas tapi baik hati, merupakan hal biasa bagi Mufid. Sebagai ketua himpunan, Mulid adalah penyambung antara kedua jurusan dan mahasiswa. Bila hendak mengeluarkan pengumuman yang ada kaitannya dengan kegiatan mahasiswa, Mufid adalah orang yang pertama yang dihubungi.

Makanya dia nggak pernah heran bila mendapat panggilan seperti sekarang. Mufid menduga ada suatu hal yang ingin disampaikan pak Darmein. Mungkin mengenai kegiatan kuliah umum yang akan dilakukan mahasiswa Elektro dua bulan mendatang. Atau mungkin juga mengenai rencana dipasangnya internet di jurusaan mereka.

Tapi kedua dugaan Mulid itu meleset. Untuk membicarakan kuliah umum dan pemasangan internet tentu nggak perlu menyetel wajah galak, seperti yang diperlihatkan Pak Darmein ketika Mufid duduk di hadapan beliau.

“Siapa yang memegang kunci kantor jurusan dua hari lalu?”

Ini pertanyaan aneh bagi Mufid. Dua hari lalu, Pak Darmein sendiri yang memberikan kunci kantor jurusan padanya. Ada beberapa peralatan elektronik yang dipinjam anak Teknik Sipil untuk kegiatan mereka. Dan Mufid ditugaskan oleh Pak Darmein untuk mengawasi.

“Siapa yang memegang kuncinya?”

“Saya sendiri, Pak.”

“Selain itu?”

Mufid mencoba mengingat. Kunci itu sempat diberikannya pada Tris saat dia melihat cewek-cewek Sipil mendekor panggung. Tapi nggak lama. Setelah mengambil absen kelasnya dia langsung mengembalikan kunci tersebut.

“Selain itu?” ulang Pak Darmein lebih tegas.

“Tris Kurniawan.”




Mufid bangkit dan melangkah keluar. Mencari ruang belajar Tris bukanlah pekerjaan gampang. Dia harus naik turun tangga sebanyak delapan kali! Itu pun kalau Tris ada di bengkel elektronika seperti pikirannya.

Dan syukurlsh Tris benar-benar ada disana.

“Ada apa?” tanya cowok berambut semi gondrong itu ketika Mufid memanggilnya.

“Disuruh menghadap Pak Darmein.”

“Soal apa?”

Mufid menggeleng. “Tapi nampaknya gawat.”

“Jangan nakutin.”

“Bukan nakutin, Aku hanya mengartikan ekspresi wajah Pak Darmein yang lain dari biasa.”

“Maksudnya?”

“Kamu lihat aja sendiri nanti.”

Tris tidak bertanya lagi sampai mereka tiba dikantor jurusan. Keduanya langsung menuju meja Pak Darmein yang terletak dibelakang seperangkat lemari.

“Kalian berdua memegang kunci kantor jurusan dua hari lalu?”

“Ya Pak,”sahut Mufid dan Tris hampir berbarengan.

“Kunci itu saya berikan pada Mufid, kenapa bisa sampai ke tangan kamu?” tatap Pak Darmein pada Tris.

“Saya pinjam sebentar untuk mengambil absen.”

“Hanya absen yang kamu ambil, apa yang kamu lakukan disini dua hari lalu?” tatapan pak Darmein berpindah ke Mufid.

“Mengawasi anak-anak Teknik Sipil, Pak.”

“Hanya mengawasi?”

Mufid juga mengangguk dengan kening berkerut.

“Kamu tidak kemana-mana selama mereka mengambil semua peralatan yang dipinjam?”

Mufid menggeleng bingung dan Pak Darmein mangut-mangut. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja yang dilapisi kaca hitam tebal.

“Saya tidak tahu harus menyalahkan siapa di antara kalian berdua. Tapi yang jelas, kalian yang harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi di kantor jurusan kita.”

Mufid dan Tris saling berpandangan. Keduanya sama-sama tidak mengerti.

“Memangnya ada kejadian apa, Pak?” tanya Tris kemudian.

“Kas jurusan kita kebobolan. Duit sebanyak lima juta lenyap dari tempatnya.” Mufid terkejut. Namun Tris lebih terkejut lagi.

“Kapan kejadiannya, Pak?” tanya Tris lagi.

Pak Darmein menggeleng. “Tapi saya mengetahuinya pagi tadi. Belum ada pihak yang saya beritahukan selain kalian berdua. Saya tidak ingin membuat kalian malu kala harus lapor polisi.”

Yah, langkah yang tepat. Kalau tidak nama baik Mufid dan Tris pasti tercemar di mata mahasiswa dan dosen. Mufid tidak tahu harus di mana menyimpan mukanya kalau hal itu sampai terjadi.

“Kalian harus menemukan uang itu secepatnya sebelum diketahui pihak lain.”

Mufid langsung mengangguk. Tapi Tris malah manyanggah ucapan Pak Darmein.

“Tapi Pak, ada satu orang lagi yang mempunyai kunci jurusan. Saya rasa orang itu pun harus bertanggung jawab.”

“Siapa?”

“Bu Iyah.”

Wanita tua yang mempunyai kunci induk untuk semua pintu. Tugasnya adalah membuka dan mengunci pintu setiap jam kerja. Dan itu sudah berlangsung selama belasan tahun. Tetapi belum pernah ada kejadian apa-apa. Dia sudah mendapat kepercayaan dari semua orang termasuk direktur. Jadi tidak mungkin menuduhnya.”

“Bu Iyah memang nggak mungkin melakukannya. Tapi dia bisa menyuruh orang lain.”

“Dia biar jadi urusan saya.”

Tris terdiam. Pak Darmein kembali menegaskan pada Mufid dan Tris agar mengusut persoalan itu sampai tuntas. Setelah itu, mereka keluar beriringan dari kantor jurusan.

Mufid pernah melihat Pak Darmein membuka kas jurusan suatu hari. Ketika itu himpunan sedang membutuhkan dana untuk mengikut kegiatan. Dan Mufid sempat melihat semua yang ada di dalam kas tersebut. Jumlahnya dia nggak tahu pasti. Tapi, yang lebih jelas lebih dari lima juta.

Jadi kalau sekarang kas kebobolan hanya lima juta, itu berarti si pencuri bukan seorang yang serakah. Atau mugkin saja dia tengah membutuhkan uang hanya lima juta. Ya, siapa tahu.

Untuk membobol kas jurusan yang hanya menggunakan boks biasa, menurut Mufid bukanlah pekerjaan sulit. Dengan bermodalkan sebuah obeng si pencuri sudah dapat melakukannya. Jadi Mufid nggak mempersoalkan hal itu. Yang jadi pemikirannya saat ini adalah mengapa si pencuri bisa membuka pintu jurusan yang aman. Apakah waktu itu Tris nggak mengunci pintu hingga dia bisa masuk dengan leluasa?

Kemungkinan itu tipis sekali. Kalau pintu itu nggak terkunci, paginya pasti ada laporan dari Bu Iyah. Dan berita kehilangan itu akan terdengar kemarin atau sehari sebelumnya. Sang pencuri tentu nggak mungkin mendiamkan kantor jurusan terbuka baru kemudian menjalankan aksinya. Itu mustahil.

Mufid mencoba mengingat kembali urutan peristiwanya. Sore itu setelah anak-anak Tekinik Sipil mengambil perangkat elektronik di jurusan, dia langsung mengunci pintunya. Dia lantas ikut anak-anak sipil itu ke aula dan melihat cewek-ceweknya mendekor panggung. Bukan apa-apa, di antara cewek itu soalnya ada Mia, cewek manis yang belakangan ini selalu hadir dalam mimpi-mimpinya.

Pada saat itulah Tris dating meminjam kunci. Entah dari mana dia tahu kalau kunci kantor jurusan ada di tangan Mufid. Tris bilang dia hanya ingin mengambil absen kelasnya untuk minggu depan. Mungkinkah pada saat itu Tris menjiplak bentuk kunci tersebut pada selembar kertas dan kemudian menempanya pada tukang kunci?

Bisa jadi. Tapi…. Ah iya, Mufid ingat sekarang. Pada waktu itu Tris menjumpainya bersama Bara. Mengapa nggak menanyai anak itu siapa?

Mufid segera mencari Bara di kelasnya. Ketika melihat sosok Tris di depan kantin, dia cepat-cepat menghindar. Tris nggak boleh tahu kalau aku menjumpai Bara, katanya dalam hati.

Selama ini Mufid mengenal Bara sebagai cowok yang jujur. Tapi bila Bara mengatakan bahwa Tris betul-betul hanya mengambil absen dan mengembalikan kunci itu secepatnya, haruskah Mufid percaya?

Dan memang itulah yang dikatakan Bara.

“Aku sendiri heran. Fid. Untuk apa sih Tris ngajak aku kalau cuma mau ngambil absen.”

“Mungkin Tris ingin kamu jadi kamu jadi saksi kalau dia benar-benar hanya ngambil absen.”

“Itulah yang membuat aku curiga, soalnya waktu mengembalikan kunci itu ke kamu, dia tetap ngajak aku. Bahkan sedikit memaksa. Katanya dia malas jalan sendiri. Nggak ada teman ngobrol. Menurutku alasan itu terlalu dibuat-buat. Jarak kantor jurusan dengan aula ‘kan nggak jauh. Sambil siul-siul juga sampai. Jadi nggak perlu teman ngobrol segala.”

Mufid tersenyum senang. Secara nggak langsung Bara telah menunjukkan kecurigaannya pada Tris. Mereka sependapat dalam hal ini.

“Yang membuatku lebih heran, nggak biasanya Tris ngambil absen sore-sore. Semua komisaris diharuskan ngambil absen kan senin pagi. Menurutku itu cuma alasan saja.”

“Tapi yang kamu lihat hari itu?”

“Itulah yang membuatku bingung. Tris benar-benar hanya ngambil absen. Setelah mengunci pintu kantor jurusan, kami segera naik ke aula dilantai tiga.”

“Kunci itu?”

“Ada dalam genggaman Tris.”

“Setelah menyerahkannya itu, kalian ke mana?”

“Pulang. Tapi setelah itu kami nggak sama-sama lagi. Aku turun di rumah, sementara Tris langsung ke kota.”

Benar-benar gelap persoalannya kalau memang demikian. Tris ke kota karena rumah kosnya memang di sana. Nggak ada alasan untuk menuduh anak itu sebagai pelakunya.




Tiga hari berlalu sudah. Mulid belum juga mendapat titik terang. Meskipun begitu, dia tetap menempatkan Tris sebagai tertuduh utama. Alasannya seperti yang dikatakan Bara. Pertama Tris memaksa Bara agar nggak kemana-mana selama dia mengambil absen dan mengembalikan kunci. Kedua, mengambil absen sore bukanlah kebiasaannya selama ini. Dan yang ketiga sepertinya Tris sengaja mendinginkan persoalan itu. Dia nggak pernah menyinggungkannya sedikit pun bila bertemu dengan Mufid. Padahal Pak Darmein sudah memerintahkan pada mereka untuk mengusut persoalan itu sampai tuntas.

Siang tadi Mufid kembali mendapat panggilan. Pak Darmein menanyakan hasil kerjanya selama tiga hari ini. Mufid nggak bisa mengatakan apa-apa selain mengungkapkan kecurigaannya. Dia minta waktu pada Pak Darmein untuk membuktikan kecurigaannya itu.

Syukurlah Pak Darmein menyetujuinya. Tapi beliau berpesan agar Mufid melakukan secepatnya karena jurusan elektro sedang membutuhkan tambahan dana untuk melengkapi beberapa komponen yang kurang. Selain itu Pak Darmein mengatakan bahwa nggak mungkin Bu Iyah terlibat dalam hal ini. Beliau telah mendapatkan kepercayaan dari semua pihak selama belasan tahun. Kalau memang ingin menyelewengkan kepecayaan itu, kenapa harus untuk uang sebanyak lima juta? Kalau mau dia tentu bisa mengambil simpanan uang di setiap jurusan. Atau malah membobol laboratium komputer yang harganya mencapai miliaran rupiah.

Jelasnya nggak mungkin menepatkan Bu Iyah sebagai tertuduh. Dan Mufid pun setuju akan hal itu. Dia tetap curiga pada Tris. Tapi masalahnya dia belum memiliki bukti kuat untuk mengungkapkan kecurigaannya itu.

Sepanjang hari ini Mufid puyeng memikirkan titik terangnya. Berbagai kemungkinan dia kumpulkan dan dia diskusikan dengan Bara, tapi belum ada kejelasan. Akhirnya mereka sepakat untuk menanyakan langsung ke Tris sore itu.

Siang tadi di kampus, Bara sudah berjanji akan dating ke rumah kos Mufid. Tapi nyatanya dia belum juga menepati janjinya itu. Padahal setengah jam telah berlalu dari waktu yang mereka sepakati siang tadi.

Kesal menunggu, akhirnya Mufid berlari ke telepon umun yang nggak jauh dari rumah kosnya. Tapi sampai di sana, kekesalan Mufit semakin bertambah. Di depan telepon umum itu, tujuh orang ABG tampak sedang mengantre. Padahal si pemakai telepon sedang asyik-asyiknya bicara.

Mufid menggenggam koin dengan kuat untuk meredam kekesalan hatinya. Masyarakat Indonesia nampaknya belum memiliki kesadaran yang tinggi dalam menjaga fasilitas umum. Buktinya telepon umum di depan rumah kos Mufid ada lima unit. Tapi yang berfungsi dengan baik cuma satu.

Koin di telapak tangan Mufid masih tergenggam dengan kuat. Kalau nggak ingat budaya antre, ingin rasanya dia menyingkirkan para ABG itu.

Mufid berjalan menuju berjalan menuju sebuah tembok tua dan duduk di sana. Menunggu sambil menciptakan macam-macam praduga tentu lebih baik daripada mendengar celoteh para ABG.

Mufid terasa telapak tangannya berkeringat karena terlalu lama dan kuat menggenggam koin. Cowok itu lantas memindahkan koin tersebut ke tangan kiri. Pada saat itulah dia melihat bulatan bekas koin di telapak tangannya. Mufid terkejut, tiba-tiba ia ingat sesuatu.

Bara pernah mengatakan bahwa kunci kantor jurusan selalu berada dalam genggaman Tris karena terlalu lama menggenggamnya bentuk kunci tersebut tergambar dengan jelas di telapak tangannya. Ketika beralasan pulang ke rumah kosnya, Tris pasti ke tukang kunci membuat duplikat kunci kantor jurusan. Mungkin nggak pas benar, tapi Tris bisa memperbaikinya hingga dua hari kemudian kas jurusan Tekik Elektro kebobolan.

Aha! Koin telah menjawab semua kebingungan Mufid. Dia akan akan menjumpai Tris sekarang juga. Dia akan minta cowok itu mempertanggungjawabkan perbuatannya.[]

Cerpen di atas pernah dimuat di majalah ANITA Cemerlang tahun 1994.






Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

H2
H3
H4
Upload from PC
Video gallery
3 columns
2 columns
1 column
15 Comments