Tradisi cerita terkait bencana"Smong Dan Inamura No Hi"


7 Desember 2016, tepatnya sebelum azan subuh, gempa memaksa bangun orang seluruh kampung. Pasar Meureudu yang berada di pusat kota kabupaten Pidie Jaya, sekejap rata. Perut bumi yang terkoyak menyembur air, mengungkit trauma pada kejadian gempa dan tsunami besar 2004 silam.

Aku berlari keluar rumah. Kepala belum lagi seimbang. Pandangan mata masih meremang. Namun gempa menakuti semua orang hingga berlari, berhamburan ke jalan. Wajah-wajah pucat ketemukan melihat puing-puing reruntuhan.

Kini, 7 Desember 2017, genap setahun sudah musibah itu. Rumah, mesjid, pertokoan dan jalan yang rusak, dijanjikan ganti oleh pemerintah setempat. Namun sampai sekarang, bantuan itu belumlah dinikmati masyarakat. Entah tukang sihir mana telah menyulap itu semua. Para pengungsi, dalam beberapa Minggu setelah musibah gempa, memang mendapatkankan bantuan makanan. Namun kebanyakan, telur dan mie instan. Ya sudahlah. "Lheuh trauma, traumie"( habis trauma, kenyang dengan mie), terdengar lulucon dari mulut-mulut orang kampung, menghibur diri.

Tak perlulah kutuliskan panjang lebar tentang kekecewaan itu. Selain buang waktu, juga tidak baik bagi pikiran. Kuceritakan saja sedikit pengalamanku memainkan hikayat tentang mitigasi bencana.

Pada Tahun 2015 bulan November, aku di Jakarta. Mengisi acara pembukaan "Jakarta Biennale". Di sana, aku memainkan hikayat biola Aceh yang kuberi judul "Narasi Scary". Berkisah tentang kejadian-kejadian masa konflik antara GAM dengan TNI, hingga lepas perdamaian. Usai acara tersebut, aku tidak diizinkan pulang oleh seorang seniman tutur, Agus Pmtoh. Maka tinggallah aku di rumahnya, jalan Bangka, Mampang, Jakarta Selatan.

Beberapa bulan di sana, aku dikenalkan dengan seorang peneliti Jepang, bernama Yoko Takafuji. Ibu Yoko adalah salah seorang peneliti dari pusat kajian wilayah Asia, Universitas Rikkyo Jepang, yang melakukan serangkaian penelitian mengenai tradisi cerita terkait bencana.

Hari Kamis, bulan Maret 2016, aku lupa tanggal berapa. Bertempat di lobi hall The Japan foundation, summitmas, diadakan acara "Sosialisasi gempa dan tsunami secara menyenangkan", dengan kesenian Jepang bernama "kamishibai". Ibu Yoko mengajakku membacakan cerita "Smong", yang cukup terkenal di pulau Simeulue Aceh, dengan gaya kamishibai yang juga populer di Jepang. Kamishibai sendiri merupakan pertunjukan yang dibawakan oleh pendongeng dengan media gambar dan lazimnya dibawakan untuk anak-anak.

The Japan Foundation Jakarta, merangkul guru-guru TK dan SD, dengan harapan, dapat memupuk kesadaran dan kesiagaan terhadap bencana sedari dini terhadap anak didik mereka.

Bulan November 2016, aku dan Ibu Yoko Takafuji memainkan kamishibai di Museum Tsunami Banda Aceh. Kala itu aku membacakan cerita Jepang, yang berjudul "Inamura No Hi". Dalam bahasa Indonesia, "Inamura No Hi" berarti " Api dari tumpukan padi". Inamura No Hi sesungguhnya adalah versi ringkas dari novel karangan Lafcadio Hearn (Koizumi Yakumo) berjudul"A Living God" (1896). Meski berbentuk fiksi, novel itu mengandung teladan tentang cara-cara mengurangi dan menyiapkan diri dalam situasi bencana, terutama gempa bumi dan tsunami, yang menjadi langganan Jepang selama ratusan tahun. "Dimanapun cerita nenek moyang adalah sesatu yang berharga," ujar Ibu Yoko Takafuji. Terimakasih Ibu yoko..

H2
H3
H4
Upload from PC
Video gallery
3 columns
2 columns
1 column
4 Comments