Jan, tentang laporan taubat si Kektuli Diakan kemarin yang kusampaikan padamu ternyata tidak benar. Dia masih binal. Masih suka menggoda dedek-dedek gemes yang pulang ke kosan setiap sore hari, masih juga berkhidmat di komplotan Bandit Muka Pintu, masih suka mengintip tidur ibu-ibu. Celaka tak ada obat, Jan. Parah sangat!
Oh, baiklah, lupakan dia. Ada kabar lain yang perlu kusampaikan padamu yang disampaikan oleh temanku di Jakarta.
Sementang di Aceh tak ada bioskop, teman saya yang di Jakarta itu sering mengirimkan pesan-pesan jahanam tentang film-film yang sedang akan diputar di sana. Dulu saya angek sebab saya memang suka menonton film, sekarang sudah tidak. Ada banyak pekerjaan yang menyita waktu saya untuk menonton. Meski perkembangan kualitas film Indonesia semakin membaik, keadaan membuat saya harus bersabar. Ya salah satunya perkara waktu dan jarak. Tepatnya jarak tempuh yang menyita waktu serta jarak waktu antara satu kesibukan ke lainnya itu.
Pesan tadi pagi dari teman saya agak berbeda. Semacam kode yang harus direnungkan agar mendapatkan makna.
"Eh, ada film bagus di Jakarta!" tulisnya.
Saya mencoba memahami kode-kode, tak terbaca. Maka padanya saya bertanya.
"Pemeran lama atau yang baru?"
Sekian menit dia balas, "agak lama, tapi baru menunjukkan dirinya. Ceritanya dia berperan sebagai seorang budak didustai majikannya. Sedih alurnya. Mau jadi penonton kedua setelah saya?"
Gila saja. Bagaimana mungkin saya jadi penonton kedua, sekarang saya bahkan tak sempat pun ikutan ngopi bareng teman-teman. Konon lagi harus menonton.
Poster Film
Suara pesan di hp saya berbunyi. Teman saya itu lagi. Dia kirimi saya capture-capture pesan yang menyatakan perseteruannya dengan seorang pegiat "2019GantiPresiden". Ia sertakan pesan "Film Terbaik Tahun Ini, Bertahan Lama di Bioskop Kami".
Sumpah, saya tak habis pikir. Mengernyit dan bertanya-tanya. Apakah dia kira itu lucu? Shit, jokesnya kelampau garing. Lagipula jika pun itu film, apa bagusnya "film" itu? Apa bagusnya perseteruan yang tak bakal mendapatkan titik ujung? Apa hebatnya kita yang membela satu pihak yang pada akhirnya terbeli juga oleh orang yang tak dibela? Debat kusir tanpa akhir, apa penting?
Temanku agaknya paham kerisauan yang saya simpan. Segera ia kirimkan lagu saya sebuah pesan tanpa beban tapi menohok terlalu dalam, "kamu kira ini bukan film bagus? Bagusan mana dengan kisah sebagian dari kalian yang selalu merasa berkecukupan tapi masih ngemis sini sana. Bagus mana dengan film cambuk kalian? Bagus mana dengan film cemara yang ditebang sebab dianggap pohon natal? Jauh lebih bagus film ini dibandingkan film meladeni seorang yang merasa diri filsuf tapi nyatanya terus menerus menebar kebencian."
Oke, baiklah! Jauh lebih berfaedah diam ketimbang berdebat kusir dengan teman saya itu. Maka saya tidak lagi membalasnya. Madafaka, malah dia berulang-ulang mengirimkan pesan yang sama ke saya. Ini teman kayaknya bakal kucabein kalau jumpa. Karim Konzema Madafaka!